Translate

Supergrup Konspirasi Melawan Rotasi


 

“Kalah bukanlah sebuah pilihan” mungkin adalah kutipan yang menjiwai dirilisnya album “Teori Konspirasi, yang ditelurkan oleh tokoh terkemuka dalam dunia musik alternatif. Vokalisnya adalah Chandra “Che” Johan, vokalis band Cupumanik.

Romi Sophiaan, yang wara-wiri di banyak band alternatif ’90-an, memegang bass. Edwin Syarif (terkenal sebagai gitaris band Cokelat) menyayat gitar. Sementara itu, Kirana Hamonangan — lebih beken dengan nama panggung Marcell — menggebuk drum

.

Edwin dan Marcell adalah aktor intelektual di balik persekongkolan kuartet super yang diberi nama Konspirasi.

Mereka menolak kalah dari rotasi musik arus utama saat ini yang cenderung seragam. Mereka juga menolak kalah dari pemeo “grunge is dead”. Genre alternatif ’90-an ini memang sedang digadang-gadang sedang bangkit dalam beberapa tahun belakangan — baik di luar maupun dalam negeri.

“Konspirasi berawal dari keinginan gue untuk kembali membuat musik yang keras dengan meminimkan rem kemapanan,” kata Edwin Syarif. “Akhirnya gue kembali melirik grunge,” kata dia lagi. Dari serangkaian pertemuan sejak 2008, para personel berusaha menyatukan visi dan menghasilkan musik “menolak kalah” ala mereka.

Dan hadirlah “Teori Konspirasi”, berisi 9 lagu dengan total durasi yang cukup singkat — hanya 33 menit lebih sedikit. Saya hampir selalu mendengarkan album ini dalam perjalanan, kebanyakan di dalam kereta listrik. Hasilnya, perjalanan terasa sangat singkat (sayangnya tak elok ber-headbang ria di tengah penumpang).

Dari segi konten, “Teori Konspirasi” tidak terlalu keras. Terutama jika Anda berpengalaman mencicipi Alice In Chains, Soundgarden, Stone Temple Pilots atau Pearl Jam. Jika Anda tak ahli dengan nama-nama yang disebut barusan, jangan langsung cemas. Ada nuansa akrab telinga pada lagu-lagu Konspirasi, yang membuktikan bahwa mereka juga ingin karya ini diintimi sebanyak-banyaknya massa.

Hampir semua lini patut diacungi jempol. Riff-riff gitar progresif, kerap berbelok tajam dan menukik, adalah jiwa Konspirasi. Dan mereka juga tak antimelodi. Seperti grunge yang menolak mati, salah satu persekongkolan yang perlu dibuat adalah infiltrasi melodi supaya lagu-lagu akrab di telinga.

Maka jadilah “Dilema” yang seakan pelan namun menghentak di tiga perempat lagu — dan ditutup dengan agung (saya hampir menitikkan air mata). “Melawan Rotasi” meliuk-liuk dengan lini bass yang indah, lengkap dengan lirik puitis, dan bahkan gebukan drumnya bisa membuat Anda bernyanyi! Jagoan versi saya di dalam “Teori Konspirasi” adalah “Melacak Jejak Purba”, yang merupakan kunci dari keseluruhan album ini.

Album ini bisa dimaknai memiliki dasa muka. Bagi mereka yang menerima apa adanya “grunge is dead”, album ini mungkin sekadar nostalgia atau mesin waktu ke era ’90-an. Bagi para pecinta gitar mendayu-dayu, mereka akan katakan “bahkan tak ada solo gitar lebih dari 1 menit di lagunya”, atau bahkan “musiknya laki banget”.

Apapun pendapat yang berbeda-beda itu, bagi saya album ini adalah karya apik dari mereka yang mengerti betul akar musik ’90-an.

Yang saya kurang paham adalah dua interpretasi saya pada teknik pemasaran mereka. Di satu sisi, guna melawan pemeo “grunge is dead” mereka berusaha memopulerkan lagi genre ini, membangkitkan grunge. Di sisi lain, menempel karya dengan label atau genre tertentu jelas berpotensi membuat ceruk tersendiri untuk karya tersebut. Dalam hal ini, karya ini berpotensi terperangkap dalam 4L: Lu Lagi Lu Lagi.

Jadi itulah “Teori Konspirasi”, ia punya dasa muka dan bisa dimaknai berbeda-beda. Saya setel lagi “Melacak Jejak Purba”, dan mengamati liriknya:

“Jangan hanya lihat dari kanan, tatap yang kiri. Jangan hanya percaya yang terang, lihat yang gelap”

Dan samar-samar saya mulai mengerti persekongkolan ini. Seperti pentolan-pentolan Konspirasi pernah menyatakan, “Grunge penting, tapi rilisan karya bagus lebih penting!”

0 komentar:

Posting Komentar